PARADIGMA
PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN (ECO DEVELOPMENT)
Paradigma penting yang terakhir, yaitu suatu kesadaran
bahwa kemiskinan dan kemakmuran bisa memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan telah memacu para pengambil kebijakan dan akademisi untuk
memperbaiki orientasi pembangunan dengan mengarahkan-nya pada kelestarian
lingkungan. Kerusakan ekologis dalam berbagai bentuk seperti polusi, kerusakan
tanah, erosi, pembentukan gurun, pengundulan hutan, pemanasan global, hujan
asam, efek rumah kaca, punahnya spesies-spesies liar, polusi laut, gerakan
limbah berbahaya (Kojima et. al. (editor), 1995, hal. 6) yang diakibatkan oleh
aktifitas-aktifitas manusia baik dalam rangka meraih kemakmuran maupun sekedar
mempertahankan kecukupan hidup, telah terjadi dalam skala global. Baik negara
terkebelakang maupun negara maju sama-sama memiliki potensi untuk menciptakan
degradasi lingkungan.
Pada dasarnya ada tiga aliran pemikiran dalam
merespons trend kerusakan ekologis: (1) “Pandangan pesimistis”
sebagaimana tercermin dalam tulisan beberap pakar dari Masachusetts
Institute of Technology dan Club of Rome berjudul The Limits
to Growth memperkirakan bahwa akan terlewati suatu ambang batas dan
terjadi kehancuran sistem di planet bumi dalam tempo satu abad jika angka
pertumbuhan penduduk dan laju pembangunan berjalan sebagaimana saat ini.
Dipercaya bahwa ada tarik ulur antara proteksi lingkungan dengan pertumbuhan
ekonomi dan oleh karena itu, pandangan ini mendukung “teori keadaan tetap” (steady–state
theory); (2) “Pandangan Optimistis”, yang disuarakan oleh para pakar
dari Sussex University, berpendapat bahwa kerusakan bumi tidak akan
terjadi dan ambang planet ini tidak akan pernah terlampaui, karena penemuan dan
kreatifitas manusia akan tumbuh secara eksoponensial dan manusia memiliki
kekuatan yang luar biasa untuk menyesuaikan diri (Jahoda, 1975); dan (3)
Pandangan “realistis atau pragmatis”, yang disamping sadar akan pengaruh
pertumbuhan dan kemiskinan terhadap ekologi, menyadari bahwa banyak
pemerintahan berada di bawah tekanan berat untuk memberikan prioritas pada
kebijakan-kebijakan pembangunan yang vital bagi pengentasan kemiskinan dan
pemberdayaan perekonomian yang mengalami depresi, sehingga hanya tersisa
sedikit ruang untuk memikirkan lingkungan (Fujisaki, 1995, hal. xxi); oleh
karenanya, pandangan ini berpendapat bahwa ada imperatif (baca: kekuatan
pemaksa) pertumbuhan untuk meningkatkan standar kehidupan golongan rakyat
miskin. Alih-alih memikirkan pembatasan pertumbuhan, apa yang mesti dilakukan manusia
adalah memperluas batas pertumbuhan, dengan menciptakan ruang lebih banyak bagi
pelaksana upaya-upaya pembangunan.
Paradigma terakhir ini memperkenalkan suatu nilai
pembangunan yang dikenal sebagai “pembangunan berkelanjutan”,
yakni “pembangunan yang bisa memenuhi kebutuhan saat ini tampa merusak
kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri ”.
Ini merupakan prinsip dasar paradigma ini (McNeil, Winsemius, dan Yakushi,
1997, 1991).
Kahn (1995, hal. 65) menguraikan konsep ini lebih jauh
dan menambahkan beberapa dimensi kedalamnya, dengan menyatakan bahwa
pembangunan berkelanjutan berusaha untuk mewujudakan pertumbuhan dan keadilan
dalam konteks stabilitas sumber daya antar generasi. Mereka memandang
pembangunan sebagai pencapaian tujuan-tujuan yang saling terpaut berupa
kelestarian sosial, ekonomi dan lingkungan baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang. Komitmen pemerintah, sektor swasta dan lembaga swadaya
masyarakat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan terlihat dalam KTT Bumi
yang diselenggarakan di Rio de Jeneiro pada bulan Juni 1992. Kepedulian umum
tentang keanekaragaman hayati, industri hijau, wisata hijau, lebel ramah
lingkungan (ecolabelling), hutan sosial, dan sebagainya, mencerminkan
orientasi pembangunan baru ini yang dikenal sebagai paradigma pembangunan
berwawasan lingkungan atau paradigma environmenttalisme. Strategi
pengentasan kemiskinan macam apa yang akan dianut oleh. Paradigma environmentalisme tergantung
pada posisinya di antara pandangan-pandangan alternatif yang dikemukakan di
atas. Pemaparan paradigma-paradigma dalam tulisan sebelumnya sama sekali belum
purna. Pengembangannya pun tidak berjalan linier. Suatu paradigma pembangunan
yang berlaku pada priode waktu tertentu mungkin tergeser pada waktu lain dan
mengalami kebangkitan kembali pada lain priode. Pembangunan berorientasi
pertumbuhan dan produksi yang dominan pada 1960-an tergeser pada dasawarsa
1970-an, namun agaknya memperoleh kembali momentumnya pada 1990-an ketika
tujuan-tujuan ekonomi pasar dan liberalisasi perdagangan di anut kembali secara
umum, tidak hanya oleh negara-negara maju tetapi juga oleh negara-negara sedang
berkembang dalam kerangka pembangunannya.
Dalam upaya mentransformasikan keadaan mula-mula
sebelum perang yang dicirikan oleh keterbelakangan, kekurangan pangan,
rendahnya standar pendidikan, rendahnya produktivitas, jeleknya gizi dan
sanitasi, dan sebagainya kepada keadaan ideal, negara-negara sedang berkembang
memilih salah satu atau kombinasi dari paradigma yang disebutkan di atas yang
dianggap paling sesuai dengan kondisi yang dihadapi negara yang bersangkutan
dengan memperhatikan pengalaman sejarah, sistem nilai, ketersediaan sumber
daya, konfigurasi politik, dan sebagainya.
Keberhasilan upaya negara untuk memanfaatkan kondisi
asli tergantung pada pilihan paradigma atau kombinasi paradigma yang paling
cocok di samping kualitas dan konsistensi penerapannya. Namun, proses penentuan
kombinasi paradigma yang paling sesuai bukanlah perkara mudah mengingat tujuan
yang akan di raih oleh masing-masing paradigma bisa saling bertolak belakang.
Pertumbuhan ekonomi, misalnya, bisa dicapai dengan mengorbankan kelestarian
lingkungan; keadilan sosial terealisir dengan menurunnya laju pertumbuhan
ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu, perumusan kebijakan pembangunan yang
memasukkan pertimbangan yang seimbang atas nilai-nilai pembangunan yang
tampaknya saling berseberangan merupakan tantangan besar bagi para pengambil
kebijakan. Disamping itu para pakar dan perencana pembangunan agaknya memiliki
banyak perbedaan pendapat tentang paradigma apa yang paling bagus dalam upaya
pengentasan kemiskinan, distribusi pendapatan secara adil, dan keberlanjutan
pertumbuhan ekonomi.
Bagian berikutnya yang merupakan lanjutan tulisan ini
akan membicarakan strategi pengentasan kemiskinan di Indonesia dalam kerangka
kombinasi paradigma-paradigma pembangunan. Suatu analisis diakronik tentang
strategi pengentasan kemiskinan atau membuktikan bahwa paradigma-paradigma yang
digunakan sama sekali tidak bersifat statis. Berbagai variabel turut
mempengaruhi pilihan paradigma-paradigma yang digunakan pada dimensi waktu
tertentu dan pada tahap tertentu dalam pembangunan nasional kita selama ini.
Paradigma ini mengkristal melalui beberapa konferensi
regional yang diselenggarakan oleh Komisi Ekonomi Untuk Amerika Latin dan
Konferensi para ekonom Amerika Latin di Mexico pada tahun 1965 yang
menghasilkan Deklarasi Ekonom Amerika Latin. Para ekonom Amerika Latin
mencermati pembangunan di luar kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Dengan
mengkombinasikan tradisi strukturalis pandangan dunia Amerika Latin yang
berakar pada kondisi sosio-ekonomi kawasan itu, dan alur berpikir neo-Marxis,
mereka memutuskan untuk menggunakan paradigma ketergantungan atau paradigma
Ekonomi Politik sebagai titik acuan dalam upaya-upaya pembangunan.
Paradigma neo-Marxis berbeda dari Marxis Klasik dalam
beberapa hal: (i) Marxis Klasik memandang imperialisme dari posisi sentralnya,
sementara neo-Marxis memandang dari posisi pinggiran (feriperal)-nya;
(ii) analisis kelas Marxis Klasik didasarkan atas pengalaman negara-negara
Eropa yang menekankan misi emansipasi proletariat industri, sementara
Neo-Marxis memberi perhatian juga pada potensi-potensi revolusioner para
petani; (iii) Marxis Klasik menekankan peran deterministik dari kondisi
objektif, dan neo-Marxis melihat kemungkinan faktor-faktor subjektif dalam
memunculkan revolusi (Foster Caster, 1974).
Para pendukung paradigma ini berpendapat bahwa
pembangunan dan keterbelakangan bukan merupakan fenomena yang saling terpisah;
melainkan merupakan dua sisi dari proses sosial yang sama, yakni integrasi
masyarakat-masyarakat pra-kapitalis menjadi sistem kapitalis dunia melalui
kolonisasi dan/atau perdagangan internasional. Hubungan asimetris negara-negara
yang dari berbagai tingkat perkembangan mengakibatkan eksploitasi (penjajahan)
satu negara oleh negara lain. Melalui proses ini negara-negara kapitalis bisa
berkembang, sementara kawasan-kawasan pra-kapitalis menjadi terbelakang. Pembangunan
oleh karenanya, dipandang sebagai upaya menghentikan hubungan ketergantungan
negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara kapitalis maju. Ini bisa
dicapai melalui strategi pemutusan hubungan, artinya, dengan memutus sepenuhnya
hubungan mereka dengan negara-negara kapitalis. Mereka percaya bahwa kemiskinan
merupakan produk dari struktur sosial yang ada dan hubungan sosial yang
eksploitatif dan, oleh karenanya, harus diatasi melalui perubahan struktural.
PARADIGMA DIMENSI MANUSIA
Pada tahap lanjut pembangunan, rakyat menjadi sadar
bahwa pertumbuhan seringkali harus ditebus dengan dehumanisasi (terkikisnya
nilai-nilai kemanusiaan) dalam berbagai manifestasi, seperti marjinalisasi,
unidimensi-onalisasi, masifikasi, penindasan, dan sebagainya. Ivan Illich
(1973), misalnya mengamati dominasi teknologi atas umat manusia, yang mengubah
manusia menjadi pelayan, dan bukannya tuan bagi teknologi. Pendukung lain
pemikiran ini, Guerreiro Ramos (1976), mengamati bahwa ada kecenderungan
unidimensionalisasi manusia melalui dominasi isolasi pasar atas dimensi-dimensi
lain kehidupan manusia sebagai akibat dari pembangunan.
Nilai manusia dalam pembangunan berbasis produksi atau
pertumbuhan ini ditentukan oleh sumbangannya bagi produksi. Dengan kata lai,
nilai manusia diukur berdasarkan perannya sebagai agen yang bisa memaksimalkan
nilai guna (utilitas) atau laba. Kesadaran ini mengilhami para pakar dan
pengambil kebijakan untuk memberi penafsiran berbeda tentang pembangunan untuk
membalik trend dehumanisasi sebagaimana disebutkan di atas.
Suatu paradigma pembangunan baru lahir dan dikenal sebagai paradigma Berdimensi
Kemanusiaan atau Pembangunan yang memanusiakan. Ummat manusia menjadi tujuan
akhir dari pembangunan.
Konsientisasi (penyadaran) yakni kesadaran tentang
pribadi seseorang dan kemampuan untuk melihat secara kritis sistem sosial di
mana ia hidup, merupakan salah satu ciri paling asasi pada manusia yang
memungkinkannya menciptakan suatu masyarakat yang mampu membuat sejarah
(Freire, 1972). Aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan, seperti harga diri, dan
sebagainya menjadi tujuan mendasar dari pembangunan (Goulet, 1973).
Pengembangan sumber daya manusia yang menghasilkan
pemberdayaan golongan miskin dipandang sebagai sarana strategis untuk
pengentasan kemiskinan. Paradigma ini tidak selalu berdiri sendiri ataupun
terpisah dari paradigma-paradigma lain, dan bisa saling melengkapi dengan
paradigma-paradigma pembangunan lainnya. Memang paradigma pembangunan yang
memanusiakan menjadi acuan bagi paradigma-paradigma lainnya. Gagasan ini
terartikulasikan oleh Misra (1981 hal. 2) dalam pernyataan berikut:
“Pembangunan yang memanusiakan tidak berarti kebencian
teknologi modern. Pembangunan ini tidak berarti ruralisasi masyarakat manusia;
tidak juga berarti cara-cara sosio teknis dalam pertumbuhan ekonomi, bukan
untuk laju pertumbuhan tinggi dengan untuk kepentingan pertumbuhan. Segala
sesuatunya absah, sepanjang memungkinkan manusia untuk memegang kendali yang
lebih baik atas nasibnya sendiri; sepanjang hal itu tidak memperbudak manusia,
menimbulkan perpecahan, membuat manusia kehilangan keseimbangan mental dan
kesehatan fisik, dan menciptakan ketidakserasian dalam masyarakat manusia.”
+ komentar + 2 komentar
Kami terkesan dengan gaya penulisannya serta isinya. Tapi sayang tak lagi up date
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
Posting Komentar