Paradigma Alternatif Pembangunan Bagi Pengentasan Kemiskinan

Selasa, 28 Mei 20130 komentar



Paradigma Alternatif Pembangunan Bagi Pengentasan Kemiskinan




Paradigma Indikator Sosial


Dengan mengamati bukti empirik pembangunan, kita bisa melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu disertai dengan distribusi pendapatan yang lebih baik dan standar hidup rakyat lebih tinggi. Indikator-indikator makro ekonomi dan statistik sebagaimana digunakan paradigma ini tidak bisa mengungkapkan nasib sebenarnya dari rakyat kebanyakan. Dalam banyak kasus strategi pembangunan berorientasi pertumbuh-an mengakibatkan efek aliran bawah-atas, bukan aliran atas-bawah, di mana simiskin mensubsidi si kaya melalui proses transaksi asimetris. Hal ini menyebabkan tergesernya paradigma pertumbuhan.




Suatu paradigma pembangunan baru yang dimaksudkan untuk melengkapi akuntasi ekonomi dengan akuntasi social mulai membayangi paradigma ini. Paradigma pembangunan baru ini dikenal sebagai paradigma Indikator Sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat. Namun, meskipun paradigma ini terlihat mendominasi pemikiran para pakar dan pengambil keputusan pada awal 1970-an, sebenarnya memiliki akar sejarah dalam gagasan suatu tim kecil dalam Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang embrionya bersumber dari Devisi Sosial Departemen Sosial dan Ekonomi. Dalam laporan keduanya tentang situasi sosial dunia (Report on the World Social Situation) pada tahun 1957 (United Nations, 1857. hal. 6) tim ini menekankan bahwa dibutuhkan integrasi secara lebih padu antara tujuan ekonomi dengan tujuan sosial yang belum terwujud dalam banyak masyarakat.



Oleh karena itu, penyusunan indikator-indikator pembangunan sosial yang menggantikan ukuran pendapatan per kapita yang tidak lagi memadai dengan menganalisis berbagai komponen yang mewakili nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional seperti kesehatan, gizi, pendidikan, perumahan, pengangguran, pendapatan perorangan dan penyusunan indikator-indikator statistiknya, menjadi perhatian utama dari tim ini. Maka, komponen-komponen indikator sosial seperti kesehatan yang lebih baik, gizi yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik, dan sebagainya, harus dipandang sebagai kunci-kunci pertumbuhan (Singers, 1965, hal. 6). Paradigma ini berasumsi bahwa kemiskinan merupakan kondisi kesejahteraan yang rendah (kesehatan jelek, gizi jelek, pendidikan jelek, dan sebagainya). Kemiskinan harus dientaskan melalui perbaikan tingkat kesejahteraan golongan miskin. Paradigma ini mengabaikan kenyataan bahwa dalam banyak kasus kemiskinan merupakan hasil dari struktur yang ada dan, oleh karenanya, hanya bisa dikurangi melalui transformasi struktural. Mendefinisikan pembangunan dengan cara seperti ini telah membuat paradigma ini tidak peka terhadap variabel struktural pembangun-an. Akibatnya, alur pemikiran Indikator Sosial dianggap sebagai paradigma yang paling tidak radikal. 



Paradigma Kebutuhan Dasar



Pada tahun 1975, ILO menyelenggarakan konferensi yang dikenal sebagai Konfe-rensi Ketenagakerjaan Dunia. Konferensi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah gagasan pembangunan, karena dalam konferensi inilah suatu gagasan lama mendapatkan momentum, yang memunculkan suatu paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma Kebutuhan Dasar. Dalam prosidang Konferensi ini yang diterbitkan tahun 1976 di bawah judul Employment, Growth, and Basic Needs : A One World Problem (ILO, 1976, hal. 7) latar belakang dipentingkannya kebutuhan dasar dinyatakan sebagai berikut:

“….berkebalikan dengan perkiraan sebelumnya, pengalaman dua dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa pertumbuh-an yang cepat total out-put tidak dengan sendirinya mampu mengurangi kemiskinan dan kesenjangan; dari sisi kemanusiaan tidak lagi bisa diterima dan dari sisi politik tidaklah bertanggungjawab untuk menunggu beberapa generasi sampai hasil-hasil pembangunan pada akhirnya turun hingga mencapai golongan termiskin; … merekomendasikan agar tiap negara menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang bertujuan untuk tercapainya standar kehidupan minimun tertentu sebelum akhir abad ini. Kebutuhan dasar didefinisikan sebagai standar kehidupan minimun yang harus ditetapkan oleh suatu masyarakat bagi golongan termiskin dari masyarakat yang bersangkutan, yang mencakup kebutuhan keluarga akan konsumsi perorangan; pangan sandang, papan ….. dan pekerjaan yang layak bagi setiap orang yang mau bekerja.”



Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengaturan perbaikan distribusi batas waktu investasi dan perbaikan distribusi kepemilikan atau hak guna tanah sangat perlu dilaksanakan. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan dasar bagi golongan miskin melalui penyediaan pekerjaan yang layak dan perbaikan distribusi kepemilikan dipandang sebagai upaya yang strategis dalam pengurangan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan dengan demikian harus dimulai dengan mengidentifikasi golongan-golongan yang tidak bisa memenuhi standar kehidupan minimun yang layak, yakni, kebutuhan dasar, dan melakukan intervensi di dalamnya dengan menyediakan bagi orang-orang tersebut pekerjaan yang layak dan distribusi kepemilikan. Namun demikian, dalam kenyataan, pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi golongan miskin seringkali mendapat penekanan yang berlebihan, dengan mengabaikan upaya untuk meningkatkan produktivitas mereka serta kapasitas mereka untuk menghasilkan nilai tambah. Meskipun paradigma ini menganjurkan derajat perubahan struktural tertentu, namun masih diyakini bahwa pengupayaan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen yang tak terpisahkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar.
Share this article :

Posting Komentar