Paradigma Alternatif Pembangunan Bagi Pengentasan
Kemiskinan
Paradigma Indikator Sosial
Dengan mengamati bukti empirik pembangunan, kita bisa
melihat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu disertai dengan
distribusi pendapatan yang lebih baik dan standar hidup rakyat lebih tinggi.
Indikator-indikator makro ekonomi dan statistik sebagaimana digunakan paradigma
ini tidak bisa mengungkapkan nasib sebenarnya dari rakyat kebanyakan. Dalam
banyak kasus strategi pembangunan berorientasi pertumbuh-an mengakibatkan efek
aliran bawah-atas, bukan aliran atas-bawah, di mana simiskin mensubsidi si kaya
melalui proses transaksi asimetris. Hal ini menyebabkan tergesernya paradigma
pertumbuhan.
Suatu paradigma pembangunan baru yang dimaksudkan
untuk melengkapi akuntasi ekonomi dengan akuntasi social mulai membayangi
paradigma ini. Paradigma pembangunan baru ini dikenal sebagai paradigma
Indikator Sosial yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat. Namun,
meskipun paradigma ini terlihat mendominasi pemikiran para pakar dan pengambil
keputusan pada awal 1970-an, sebenarnya memiliki akar sejarah dalam gagasan
suatu tim kecil dalam Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang embrionya
bersumber dari Devisi Sosial Departemen Sosial dan Ekonomi. Dalam laporan
keduanya tentang situasi sosial dunia (Report on the World Social Situation)
pada tahun 1957 (United Nations, 1857. hal. 6) tim ini menekankan bahwa
dibutuhkan integrasi secara lebih padu antara tujuan ekonomi dengan tujuan
sosial yang belum terwujud dalam banyak masyarakat.
Oleh karena itu, penyusunan indikator-indikator
pembangunan sosial yang menggantikan ukuran pendapatan per kapita yang tidak
lagi memadai dengan menganalisis berbagai komponen yang mewakili nilai-nilai
yang berlaku di dunia internasional seperti kesehatan, gizi, pendidikan,
perumahan, pengangguran, pendapatan perorangan dan penyusunan
indikator-indikator statistiknya, menjadi perhatian utama dari tim ini. Maka,
komponen-komponen indikator sosial seperti kesehatan yang lebih baik, gizi yang
lebih baik, pendidikan yang lebih baik, dan sebagainya, harus dipandang sebagai
kunci-kunci pertumbuhan (Singers, 1965, hal. 6). Paradigma ini berasumsi
bahwa kemiskinan merupakan kondisi kesejahteraan yang rendah (kesehatan jelek,
gizi jelek, pendidikan jelek, dan sebagainya). Kemiskinan harus dientaskan
melalui perbaikan tingkat kesejahteraan golongan miskin. Paradigma ini
mengabaikan kenyataan bahwa dalam banyak kasus kemiskinan merupakan hasil dari
struktur yang ada dan, oleh karenanya, hanya bisa dikurangi melalui
transformasi struktural. Mendefinisikan pembangunan dengan cara seperti ini
telah membuat paradigma ini tidak peka terhadap variabel struktural
pembangun-an. Akibatnya, alur pemikiran Indikator Sosial dianggap sebagai
paradigma yang paling tidak radikal.
Paradigma Kebutuhan Dasar
Pada tahun 1975, ILO menyelenggarakan konferensi yang
dikenal sebagai Konfe-rensi Ketenagakerjaan Dunia. Konferensi ini menjadi
tonggak penting dalam sejarah gagasan pembangunan, karena dalam konferensi
inilah suatu gagasan lama mendapatkan momentum, yang memunculkan suatu
paradigma baru yang dikenal sebagai paradigma Kebutuhan Dasar. Dalam prosidang
Konferensi ini yang diterbitkan tahun 1976 di bawah judul Employment, Growth,
and Basic Needs : A One World Problem (ILO, 1976, hal. 7) latar belakang
dipentingkannya kebutuhan dasar dinyatakan sebagai berikut:
“….berkebalikan dengan perkiraan sebelumnya,
pengalaman dua dasawarsa terakhir telah menunjukkan bahwa pertumbuh-an yang
cepat total out-put tidak dengan sendirinya mampu mengurangi kemiskinan dan
kesenjangan; dari sisi kemanusiaan tidak lagi bisa diterima dan dari sisi
politik tidaklah bertanggungjawab untuk menunggu beberapa generasi sampai
hasil-hasil pembangunan pada akhirnya turun hingga mencapai golongan termiskin;
… merekomendasikan agar tiap negara menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang
bertujuan untuk tercapainya standar kehidupan minimun tertentu sebelum akhir
abad ini. Kebutuhan dasar didefinisikan sebagai standar kehidupan minimun yang
harus ditetapkan oleh suatu masyarakat bagi golongan termiskin dari masyarakat
yang bersangkutan, yang mencakup kebutuhan keluarga akan konsumsi perorangan;
pangan sandang, papan ….. dan pekerjaan yang layak bagi setiap orang yang mau
bekerja.”
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pengaturan
perbaikan distribusi batas waktu investasi dan perbaikan distribusi kepemilikan
atau hak guna tanah sangat perlu dilaksanakan. Dengan kata lain, pemenuhan
kebutuhan dasar bagi golongan miskin melalui penyediaan pekerjaan yang layak
dan perbaikan distribusi kepemilikan dipandang sebagai upaya yang strategis
dalam pengurangan kemiskinan. Strategi pengentasan kemiskinan dengan demikian
harus dimulai dengan mengidentifikasi golongan-golongan yang tidak bisa
memenuhi standar kehidupan minimun yang layak, yakni, kebutuhan dasar, dan
melakukan intervensi di dalamnya dengan menyediakan bagi orang-orang tersebut
pekerjaan yang layak dan distribusi kepemilikan. Namun demikian, dalam
kenyataan, pemenuhan kebutuhan konsumsi bagi golongan miskin seringkali
mendapat penekanan yang berlebihan, dengan mengabaikan upaya untuk meningkatkan
produktivitas mereka serta kapasitas mereka untuk menghasilkan nilai tambah. Meskipun
paradigma ini menganjurkan derajat perubahan struktural tertentu, namun masih
diyakini bahwa pengupayaan pertumbuhan ekonomi merupakan komponen yang tak
terpisahkan dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar.
Posting Komentar